Sabtu, 23 November 2013

Resensi Novel: Daun Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin




Karena Cinta Tidak Harus Memiliki.
Oleh: Dara Yudha Nur Fadhilah.





Judul Buku /Novel          : Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penerbit                           : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                    : 2010
Cetakan                            : ke – 2
Tebal Buku                       : iv+256 halaman
Harga Buku                      : Rp.40.000,-
Pengarang                        : Tere Liye


Daun yang jatuh tak pernah membenci angin…

Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.

Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekalipun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan  membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masing dikepang dua.

Sekarang ketika aku tahu dia boleh jadi tidak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah… biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.


Setiap manusia, pasti pernah merasakan indahnya jatuh cinta. Indahnya rasa berbunga-bunga ketika bertemu dengan sang pujaan hati, rasa ingin selalu menjadi yang terbaik untuknya, dan tentunya, rasa ingin memiliki.

Rasa itulah yang dirasakan oleh Tania, seorang gadis yang awalnya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tania sehari-harinya bekerja sebagai pengamen untuk menambah penghasilan ibunya yang hanya bekerja sebagai buruh cuci. Berdua dengan adiknya, Dede, Tania berhenti sekolah dan menghabiskan hampir sebagian dari waktunya untuk bernyanyi dari mobil ke mobil, mulai dari angkot, bis kota, hingga pinggir jalan. Bermodalkan sebuah kecrekan yang berasal dari tutup botol bekas, mereka meraup receh demi receh di kantung baju mereka yang kumal dan lusuh.

Tania sudah tidak bermimpi lagi untuk bisa bersekolah. Sejak ayahnya meninggal dan ibunya harus membanting tulang demi menghidupi ia dan Dede, Tania merelakan pendidikannya dan memilih untuk berbakti kepada ibunya.

Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seseorang yang merubah hidupnya.

Tania kecil yang sedang mengamen, bersama dede yang kelelahan, kakinya tertusuk sebuah paku payung yang langsung membuat darah segar keluar dari jemari kakinya yang mungil, kotor, dan tidak beralaskan apapun. 

Saat itulah seorang pemuda datang dan menolongnya. Membersihkan kakinya dari darah dan kotor, serta membalutnya dengan sebuah sapu tangan miliknya-agar tidak terluka lebih lanjut. Tidak hanya itu, Tania dan Dede dibelikan masing-masing sebuah sepatu baru.

Rezeki itu rupanya tidak berhenti sampai disitu. Pemuda bernama Danar yang menolong Tania itu bersukarela datang kerumah Tania, dan bertemu ibunya. Pemuda itu berkata, bahwa ia akan menyekolahkan Tania dan Dede sampai tamat. Taklupa ia mengajak Tania dan Dede ke sebuah toko buku besar, dan membelikan mereka tas baru, alat tulis baru-aneka perlengkapan untuk memulai sekolah.

Sejak itulah Tania menganggap pemuda itu adalah malaikatnya.

Malaikat yang menyelamatkannya dari jurang kesedihan. Melepaskannya dari dekapan rasa kesulitan. Malaikat yang kembali menghadirkan terang dalam gelap harinya sepeninggalan sang ayah. Malaikat yang begitu dermawan, begitu rupawan, begitu sempurna. Malaikat yang kemudian mengenalkannya pada rasa itu: berbunga-bunga dan selalu ingin tampil menjadi yang paling sempurna. Malaikat yang kemudian mengenalkannya pada rasa...jatuh cinta. 

Meski pemuda itu berumur jauh lebih tua daripada dirinya.

Tania memendam semua rasa itu sendirian. Tidak ia biarkan satu orangpun mengetahui rahasia hatinya itu. Ia turuti semua kata Malaikatnya untuk belajar yang rajin, menjadi yang terbaik, dan membanggakan Ibu. Demi satu harapan: Malaikatnya memiliki rasa yang sama dengan apa yang ia rasa.

Karena ini semua bukan hanya semata untuk membalas budi baik sang Malaikat atas perlakuannya di bis kota bertahun-tahun sebelumnya.

Tetapi, apakah semua usaha Tania berujung manis? Akankah ia mendapatkan hati sang Malaikat? Apakah pada akhirnya Tania mengungkapkan semua perasaan yang ia pendam selama ini? Dan mungkinkah kisahnya berakhir bahagia, seperti cerita-cerita dongeng dalam mimpinya?

Novel ini disajikan begitu manis dan menggugah. Hadir dengan judul yang unik, yakni: Daun Yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin, Tere-Liye berhasil menguak sisi penasaran saya dan membuat saya tergerak untuk membaca novel dengan sampul berwarna hijau ini.

Tere-Liye dengan gaya bahasanya yang khas membuat saya seakan terbawa larut dalam tutur cerita dalam novel ini. Dengan berisikan kurang lebih 256 halaman dan dituturkan dari sudut pandang Tania, novel ini menguak tentang perasaan yang terpendam, rasa jatuh cinta sendirian, dan rasa akan cinta yang tidak terbalas.

Bahasa yang cenderung ringan, gaul, dan simpel membuat novel ini cocok untuk dibaca dari kalangan remaja hingga dewasa. 

Meski begitu, novel ini memiliki kekurangan yakni dari segi fisik, kertas yang digunakan dalam novel ini berwarna kuning kusam sehingga tampak seperti buku lama. Alur cerita yang maju mundur juga sedikit membingungkan.

Terlepas dari kekurangannya, novel ini sangat baik untuk dibaca dikala senggang. Terlebih, bagi para remaja yang mulai mengenal cinta dan merasakan rasanya cinta yang tidak berbalas.


Cinta tidak harus memiliki. Tak ada yang sempurna dalam kehidupan ini. Dia memang amat sempurna. Tabiatnya, kebaikannya, semuanya. Tapi dia tidak sempurna.
Karna hanya cinta yang sempurna.
-Tania-



 Happy reading!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar